Social Icons

Senin, 20 April 2015

PILKADA ANTARA RASIONAL DAN EMOSIONAL

OLEH : Dr. H. SUHARDI DUKA, MM


Foto : Nuzul ( Sekret Demokrat Sulbar )

Ada yang beranggapan bahwa pemilih itu  tidak rasional. Bahkan banyak yang emosional dan pragmatis dalam menentukan pilihannya.
Tapi sesungguhnya Anda tidak sadar bahwa justru tidak semua calon kepala daerah mampu berpikir rasional. Banyak di antara mereka justru emosional dan cara mengukurnya tidak cermat.

Ukuran bagi suksesnya seseorang dalam pemilukada tidaklah terlalu sulit. Hanya saja banyak di antara mereka tidak mau atau sengaja tidak mau menggunakan ukuran itu. 
Ukurannya adalah, pertama, citra diri seseorang di mata publik. Publik tidak akan memilih kalau tidak memiliki kemampuan. Kemampuan ini tentu untuk membawa daerah dan masyarakat ke arah kemajuan dan kesejahteraan. Perlu diingat bahwa tidak ada rakyat yang menginginkan kemunduran daerahnya. Tentu setiap warga selalu berharap agar daerahnya lebih cepat maju dan sejahtera. Dan sadar betul bahwa untuk mencapainya dibutuhkan kuatnya seseorang pemimpin.  

Citra diri bukan semata sesuatu yang kelihatan baik, tapi memang "pure" baik, jujur dan cerdas, tidak dibuat-buat seakan-akan, alias pencitraan.

Citra diri juga tidak bisa diciptakan dalam seminggu. Tapi citra diri yang sesungguhnya adalah sifat-sifat asli yang ada pada seseorang dalam interaksinya dengan publik. Tidak hanya melalui media tapi nyata dan langsung. 

Lihatlah perjalanan bangsa 3 tahun terakhir. Kita terkecoh dengan pencitraan yang dibuat media dan mengakibatkan seakan akan seseorang seperti malaikat. Tapi setelahnya bagaimana? Sejarah masih berjalan.

Kedua, strategi yang dimainkan. Strategi adalah cara dan langkah yang disusun secara rapi dan terencana untuk meyakinkan publik akan ke arah mana daerah akan dibawa. Serta memberi keyakinan kepada publik akan suatu harapan masa depan, minimal dalam 5 tahun ke depan. 

Menjanjikan, suatu masa depan harus sejajar dengan diri dan kemampuan seseorang pemimpin. Menjanjikan kemenangan seseorang petinju, di tengah orang yang bodinya terlalu kurus, baik penonton apalagi penjudi tidak akan berani bertaruh.

Untuk itu, garisnya sesungguhnya sangat linear antara citra dan harapan. Karena jika tumpang tindih, maka tingkat kepercayaannya akan kecil. Dan kalau demikian, maka kemenangannya pun akan jauh.

Ketiga, kekuatan sumber dayanya. Banyak orang beranggapan bahwa uang adalah kunci Pilkada. Saya tidak sependapat kalau uang dijadikan kunci dan penentu dalam Pilkada. Kalau Anda percaya silahkan hamburkan uang Anda dan nilai pemilih dengan uang. Kalau Anda berhadapan dengan orang yang strateginya baik, saya yakin uang Anda akan mengecewakan pada akhirnya.

Kekuatan sumber daya adalah instrumen penting dalam membangun strategi, termasuk Partai politik pendukung dalam satu tim atau koalisi. Dalam pemilukada, tidak bisa hanya mengandalkan satu kekuatan. Sebaiknya juga mampu membagi sumber daya agar bergerak efisien dan efektif mendapatkan dukungan.

Dalam mengelola Pilkada tidak berdiri sendiri. Akan tetapi sinergi antara citra diri, strategi dan sumber daya.

Ukuran yang baik adalah sejauh mana seseorang mengukur harapan dengan kemampuannya, sekaligus sumber dayanya. Kalau hanya harapan yang terlalu dikedepankan, akan membawa kita tidak rasional dalam menilai realitas politik.

Dalam seminggu ini banyak calon kepala desa datang meminta restu kepada saya, mereka memiliki harapan yang besar akan terpilih. Tapi saya tahu bahwa dia tidak akan terpilih. Dan setelah Kepala PMD memberi loporan ke saya terhadap hasil pemilihan, betul dia tidak terpilih. 

Ini artinya bahwa orang lain lebih tahu akan kemampuan dirinya daripada dia sendiri. Ini yang saya sebut sebagai kandidat emosional. Bukan kandidat rasional. (SDK)
Kritik dan saran: 


Email: sdk.suhardi@gmail.com