Social Icons

Senin, 13 April 2015

CALON KEPALA DAERAH DAN ELEKTABILITAS

Oleh : Dr. H. SUHARDI DUKA, MM

SDK ( foto : Sekretariat )

Jabatan Kepala Daerah, masih menjadi impian banyak orang. Salah satunya karena ditunjang oleh banyaknya fasilitas, berupa rumah jabatan, kendaraan dan dana operasional yang cukup tinggi serta kehormatan. Tapi apa mudah untuk menjadi kepala daerah?

Bagi yang mereka ditakdirkan, itu tidak sulit. Karena Tuhan sendiri yang mendesain untuk berada disana. Tapi bagi orang yang tidak ditakdirkan, alangkah sulit, melelahkan serta mengecewakan. Bahkan bisa membuat frustrasi. Pertanyaannya, mengapa? Karena memang ia tak ditakdirkan untuk jadi Gubernur atau Bupati.

Lalu bagaimana pula agar kita ditakdirkan untuk jadi kepala daerah? Tentu itu rahasia Tuhan. Selanjutnya, bagaimana agar kita bisa mengetahui rahasia Tuhan?

Begini, ada akal yang Tuhan berikan kepada manusia, selaku hambaNya. Kalau tidak masuk akal berarti dia tidak ditakdirkan. Sebagai amsal, jika seseorang yang elektabilitasnya hanya mencapai angka 7-9 persen, kemudian dicalonkan oleh Partai Politik tertentu atau independen, lalu kalah dalam Pilkada, itulah yang disebut takdir. Karena secara nalar sehat manusia, mana mungkin dapat menuai kemenangan yang hasil surveinya hanya 9 persen. 

Pada posisi survey atau elektabilitas seperti ini, akan lebih bijak jika tidak memaksakan diri menjadi calon kepala daerah. Karena jelas tidak akan terpilih. Sekali lagi, kita diberi akal oleh Tuhan untuk kita gunakan untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang tak masuk akal.

Amsal yang lain, seorang calon kepala desa kalah dalam pemilihan kepala desa. Setahun kemudian ada pemilihan kepala daerah. Kemudian dia pun memasang baliho dan tanda gambar yang menyatakan keseriusan akan maju sebagai kepala daerah. Apakah sebagai kosong satu atau kosong dua. 

Saya kira fakta ini dapat dikalkulasi dalam nalar politik anak kecil. Artinya, sedangkan pemilihan kepala Desa saja tidak terpilih, apalagi mau maju jadi kepala daerah.

Jadi, memahami ihwal ini, sesungguhnya banyak ukurannya. Seperti halnya salah salah satu bakal calon kapala daerah dari partai tertentu di daerah otonomi baru (DOB). Jelas sangat rasional dan masuk akal,  karena saat pemilihan legislatif yang lalu dia merupakan peraih suara terbanyak di wilayahnya. Tidak tertandingi dari caleg lain di partainya. 

Untuk yang satu ini, ukurannya jelas, basisnya jelas. Pengabdiannya pun jelas. Pemilih dekat dan terkait bukan hanya secara emosional saja. Tapi adanya keterikatan batin dan jasa serta pengabdian selama ini. Maka potensi terpilihnya jelas sangat tinggi.

Karena itu, bicara seputar pemilihan Kepala Daerah, jelas bukan untung-untungan. Atau justru menyandarkan pengaruh pada orang lain untuk bisa terpilih. Saya kira, itu keliru. Karena yang dipilih adalah orang, bukan pada pengaruh orang lain. Atau pun orang dekat dengan kita. Tapi didasarkan atas kemampuan dan integritas diri yang bersangkutan.

Menjadi kepala daerah memang tidak mudah. Karena disitu ada tanggung jawab yang harus dipenuhi untuk bisa melaksanakan amanah itu. Jadi jangan hanya dilihat enaknya saja. Tapi justru harus lebih jauh ke dalam, utamanya dalam membawa dan mewujudkan harapan orang banyak.

Jangan juga karena sudah menjabat sebagai anggota legislatif lalu dengan serta-merta menjadi kepala daerah. Belum tentu, walau disadari memang jalurnya sudah benar. Tapi berapa suaramu di legislatif, apakah cukup untuk dijadikan modal dalam pemilukada ?

Kesimpulannya, pemilu itu rasional. Olehnya itu harus pula rasional dalam mengambil keputusan. Agar tidak kecewa pada hasilnya akhirnya nanti. Jangan juga karena dorongan orang lain terus mengambil kesimpulan maju. Kajilah secara mendalam pada diri masing-masing tentang kemampuan dan harapan yang ingin diwujudkan. (Sdk)


Kritik dan saran:

Email: sdk.suhardi@gmail.com