SDK Foto Facebook
Bagaimana sesungguhnya memahami Idealisme,
keyakinan, kekuasaan atau ekonomi? Keempat hal tersebut acapkali melatar
belakangi lahirnya setiap konflik di kawasan atau suatu negara. Mulanya, sering
tampak dengan alasan perbedaan keyakinan, ataupun perluasan pengaruh kekuasaan
yang tampak sebagai idealisme pemicu perbedaan. Tapi di balik itu, sesungguhnya
merupakan kepentingan ekonomi.
Mari kita melihat permusuhan antara
paham Wahabisme dengan Syiah. Permusuhan Iran dan Saudi Arabia mulai terjadi
saat Wahabisme menjadi dasar berdirinya kerajaan Saudi. Pada awal abad ke 20,
hubungan Iran-Saudi sempat tegang. Sebab saat itu kaum wahabi yang anti Waliyullah,
menistakan para Imam Ma'shum (Ma’shumin)
dalam Syiah, serta menyerang makam Imam Husain As. (Imam ketiga syiah yang
dipandang suci oleh Mazhab Syiah Itsna Asyariah di Karbala).
Di sini, walau dengan latar
belakang ideologis, namun sejalan dengan kepentingan dan campur tangan bangsa
lain, akhirnya sedikit demi sedikit menjelma menjadi kepentingan ekonomi.
Tampak jelas, Saudi beserta sekutu, pada awalnya secara keras mendukung
Palestina dalam melawan Israel. Sementara, dalam rangka kemerdekaan Palestina,
dan untuk kepentingan ekonomi, Iran cenderung lebih berat mendukung Israel, pada
sekitar tahun 80-an. Namun lagi-lagi karena kepentingan ekonomi, baik
Iran maupun Saudi akhirnya saat ini, keduanya pun lebih menahan diri akibat
tekanan Amerika Serikat.
Saat ini, kita tengah dikejutkan dengan
hilangnya 16 WNI, yang melakukan tour ke Turki dan tak kembali ke rombongan
tournya. Beberapa hari kemudian, 16 WNI ditangkap oleh otoritas perbatasan
Turki untuk menyeberang ke Suriah sebab diduga akan bergabung ke ISIS.
Pertanyaannya, mengapa ke ISIS? Dari
analisa kita, ada dua hal yang melingkupinya. Pertama, pemahaman tentang jihad
dan Ideologi Radikalisme. Kedua, alasan Ekonomi; karena ISIS cukup percaya diri
memberi gaji lebih atas setiap pasukan yang bergabung.
Jadi, sesungguhnya jika sektor
ekonomi negara-negara Islam dibangun dengan baik, maka sedikit akan mengurangi
ketegangan di kawasan, khususnya di Timur-Tengah. Namun faktanya, justeru lemah
tak berdaya. Sisi kebodohan mereka adalah karena rela diobok-obok dalam bentuk perang
saudara, demi memperebutkan kekuasaan di Suriah, Irak, Afghanistan dan
negara-negara muslim lainnya.
Sementara di belahan negara muslim
lainnya, sebutlah negara seperti Uni Emirat Arab saat ini merupakan negara
Islam paling sejahtera dan maju secara ekonomi, serta stabilitas negaranya pun
sangat baik. Demikian halnya Qatar dengan PDRB yang sangat tinggi, rakyatnya
menikmati pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil selama kurang lebih 20 tahun.
Hasilnya? Paham eksklusivisme-radikalisme pada dua negara di atas tumpul dalam
wacana maupun gerakan.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Sesungguhnya
Indonesia perlu mereformasi sistem pengajaran agama di sekolah maupun pesantren.
Karenanya, untuk menangkal arus penyebaran paham radikalisme dan ekstrimisme,
penafsiran yang semata literalistik dengan mengabaikan dimensi kontekstual terhadap
Alquran dan sunnah cenderung memiliki korelasi dengan munculnya terorisme di
Indonesia.
Imam besar Al-Azhar, Ahmed Al-Thayib
(22/2) saat berbicara pada forum penanganan terorisme bertajuk Islam dan Perang
Melawan Terorisme mengatakan, sepanjang sejarah, ada akumulasi kecenderungan
melampaui batas yang membuat sebagian orang menganut bentuk ajaran Islam yang
salah haluan. Mereka dengan mudahnya menuding sesama muslim sebagai kafir di
sekolah, pesantren dan universitas.
Karena itu, pendidikan sudah
saatnya harus lebih diarahkan untuk menangkal bahaya terorisme. Karena kita
percaya, terorisme sungguh sangat merusak dan merugikan umat Islam saat ini. (sdk)
Kritik dan saran:
Email: sdk.suhardi@gmail.com