Social Icons

Senin, 16 Maret 2015

KETIMPANGAN DUNIA ISLAM

OLEH : Dr. H. SUHARDI DUKA, MM

SDK Foto Facebook 

Bagaimana sesungguhnya memahami Idealisme, keyakinan, kekuasaan atau ekonomi? Keempat hal tersebut acapkali melatar belakangi lahirnya setiap konflik di kawasan atau suatu negara. Mulanya, sering tampak dengan alasan perbedaan keyakinan, ataupun perluasan pengaruh kekuasaan yang tampak sebagai idealisme pemicu perbedaan. Tapi di balik itu, sesungguhnya merupakan kepentingan ekonomi.

Mari kita melihat permusuhan antara paham Wahabisme dengan Syiah. Permusuhan Iran dan Saudi Arabia mulai terjadi saat Wahabisme menjadi dasar berdirinya kerajaan Saudi. Pada awal abad ke 20, hubungan Iran-Saudi sempat tegang. Sebab saat itu kaum wahabi yang anti Waliyullah, menistakan para Imam Ma'shum (Ma’shumin) dalam Syiah, serta menyerang makam Imam Husain As. (Imam ketiga syiah yang dipandang suci oleh Mazhab Syiah Itsna Asyariah di Karbala).

Di sini, walau dengan latar belakang ideologis, namun sejalan dengan kepentingan dan campur tangan bangsa lain, akhirnya sedikit demi sedikit menjelma menjadi kepentingan ekonomi. Tampak jelas, Saudi beserta sekutu, pada awalnya secara keras mendukung Palestina dalam melawan Israel. Sementara, dalam rangka kemerdekaan Palestina, dan untuk kepentingan ekonomi, Iran cenderung lebih berat mendukung Israel, pada sekitar tahun 80-an.  Namun lagi-lagi karena kepentingan ekonomi, baik Iran maupun Saudi akhirnya saat ini, keduanya pun lebih menahan diri akibat tekanan Amerika Serikat.

Saat ini, kita tengah dikejutkan dengan hilangnya 16 WNI, yang melakukan tour ke Turki dan tak kembali ke rombongan tournya. Beberapa hari kemudian, 16 WNI ditangkap oleh otoritas perbatasan Turki untuk menyeberang ke Suriah sebab diduga akan bergabung ke ISIS.

Pertanyaannya, mengapa ke ISIS? Dari analisa kita, ada dua hal yang melingkupinya. Pertama, pemahaman tentang jihad dan Ideologi Radikalisme. Kedua, alasan Ekonomi; karena ISIS cukup percaya diri memberi gaji lebih atas setiap pasukan yang bergabung.

Jadi, sesungguhnya jika sektor ekonomi negara-negara Islam dibangun dengan baik, maka sedikit akan mengurangi ketegangan di kawasan, khususnya di Timur-Tengah. Namun faktanya, justeru lemah tak berdaya. Sisi kebodohan mereka adalah karena rela diobok-obok dalam bentuk perang saudara, demi memperebutkan kekuasaan di Suriah, Irak, Afghanistan dan negara-negara muslim lainnya.

Sementara di belahan negara muslim lainnya, sebutlah negara seperti Uni Emirat Arab saat ini merupakan negara Islam paling sejahtera dan maju secara ekonomi, serta stabilitas negaranya pun sangat baik. Demikian halnya Qatar dengan PDRB yang sangat tinggi, rakyatnya menikmati pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil selama kurang lebih 20 tahun. Hasilnya? Paham eksklusivisme-radikalisme pada dua negara di atas tumpul dalam wacana maupun gerakan.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Sesungguhnya Indonesia perlu mereformasi sistem pengajaran agama di sekolah maupun pesantren. Karenanya, untuk menangkal arus penyebaran paham radikalisme dan ekstrimisme, penafsiran yang semata literalistik dengan mengabaikan dimensi kontekstual terhadap Alquran dan sunnah cenderung memiliki korelasi dengan munculnya terorisme di Indonesia.

Imam besar Al-Azhar, Ahmed Al-Thayib (22/2) saat berbicara pada forum penanganan terorisme bertajuk Islam dan Perang Melawan Terorisme mengatakan, sepanjang sejarah, ada akumulasi kecenderungan melampaui batas yang membuat sebagian orang menganut bentuk ajaran Islam yang salah haluan. Mereka dengan mudahnya menuding sesama muslim sebagai kafir di sekolah, pesantren dan universitas.

Karena itu, pendidikan sudah saatnya harus lebih diarahkan untuk menangkal bahaya terorisme. Karena kita percaya, terorisme sungguh sangat merusak dan merugikan umat Islam saat ini. (sdk)

Kritik dan saran:
Email: sdk.suhardi@gmail.com