OLEH : Dr. H. SUHARDI DUKA, MM
Kini, Indonesia sedang dihadapkan pada hilangnya kepercayaan akibat
paham radikalisme berbalut topeng agama. Varian itu semakin menguat ke
permukaan dunia saat ini diiringi aktivitas pelaku terorisme yang terus
menjalar ke berbagai penjuru belahan dunia.
Jelas ini bukan barang mudah untuk menghadapinya. Hari ini, banyak
aktivitas terorisme yang siap melakukan berbagai gerakan mengerikan di
tengah kehidupan beragama dan berbangsa di Indonesia. Demikian kata
ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Said Agil Siroj,
disela peringatan Lahirnya Nahdlatul Ulama ke 89 tahun 2015.
Bicara NU, sesungguhnya ini merupakan organisasi Islam terbesar dunia
dengan jumlah keanggotaan hampir 90 juta jiwa. Dan saat ini, ada banyak
kader NU yang duduk di kabinet Jokowi-JK. Namun sejak NU kembali ke
khittahnya, peran perjuangan secara langsung tidak lagi bersifat politik
praktis. Tapi NU selalu menjadi organisasi yang sangat menarik dalam
kancah politik nasional.
Secara organisasi, NU tidak sukses mengantarkan kader strukturalnya ke
gelanggang politik nasional. Tapi di sisi lain, kader NU tak pernah
luput dalam pusaran politik. Bahkan tak lengkap rasanya satu organisasi
bahkan parpol jika tak menarik kader Nahdliyin masuk ke dalam
strukturalnya.
Pertanyannya, apakah sesungguhnya yang menarik dari NU?
NU dikenal di Indonesia sebagai ormas konservatif. Namun cepat
menyesuaikan dengan setiap perkembangan dunia. NU dikenal tidak a priori
dengan perubahan, sebab dapat berkembang dan sehat di zaman orde lama
maupun orde baru. Bahkan saat mengawal reformasi, tokoh NU tampil
memimpin Indonesia.
NU juga merupakan organisasi Islam terbesar di Indoneisia bahkan dunia,
memiliki ormas dan organisasi mahasiswa, serta organisasi kader dengan
basis dan doktrin Ahlussunnah wal Jamaah.
Dari kacamata politik, NU jelas menjadi ladang yang luas dan menarik
untuk digarap pada setiap pemilu maupun Pilpres. Sebab, dalam kebesaran
ormas ini, tokoh NU tak pernah satu gerbong dalam perjuangan politik.
Setelah Gus Dur, terbukti tidak ada lagi tokoh NU yang dapat
mempersatukan warganya. Bahkan masing-masing memilih tokoh dan Kiyai
untuk dijadikan panutan masing-masing.
Demikian halnya di daerah, NU terbukti belum mampu menjadi lembaga yang
berpengaruh. Utamanya dalam mempengaruhi kebijakan di daerah. Perebutan
pucuk pimpinan struktural NU di daerah sepenuhnya belum berpengaruh
terhadap peran organisasi ini dalam mengarahkan kebijakan di daerah.
Tapi sebaliknya, kita sangat merasakan ghirah ber-NU saat menengok basis
dasarnya. Yaitu pesantren. Di lingkar pesantrenlah, NU terbukti mampu
menangkal percepatan pengaruh paham radikalisme di Indonesia.
Kita pun ketahui, NU tidak tertarik dengan sikap ekstrimisme seperti
mudah mengkafirkan sesama muslim. NU justru lebih akomodatif di daerah.
Wajar jika Lembaga Pendidikan Pesantren di bawah naungan NU tak tertarik
dengan pertentangan dan perubahan paham yang lebih radikal. Apalagi
dengan gegabah mengkafirkan sesama muslim.
Penanaman manhaj aswajah bagi NU jauh lebih urgen. Sembari disertai
dengan keterampilan agar warga dan kader yang dididik dapat bersaing di
pasar kerja modern saat ini. Dua penguatan di atas merupakan jawaban
yang relevan untuk diaktualkan. Karena disadari bahwa hanya dengan
kesejahteraan umat Islam, paham radikalisme dapat ditangkal.
Tegasnya, bila kemiskinan dan ketidakadilan tetap terpampang lebar di
mata umat Islam, maka jalan pintas dan terorisme akan terus berkembang.
Kapanpun, di manapun. (Sdk)
Kritik dan saran
Email: sdk.suhardi@gmail.com
Selasa, 24 Maret 2015
Langganan:
Postingan (Atom)