Social Icons

Selasa, 24 Maret 2015

NU ; PERAN POLITIK ATAU KEAGAMAAN

OLEH : Dr. H. SUHARDI DUKA, MM

Kini, Indonesia sedang dihadapkan pada hilangnya kepercayaan akibat paham radikalisme berbalut topeng agama. Varian itu semakin menguat ke permukaan dunia saat ini diiringi aktivitas pelaku terorisme yang terus menjalar ke berbagai penjuru belahan dunia.

Jelas ini bukan barang mudah untuk menghadapinya. Hari ini, banyak aktivitas terorisme yang siap melakukan berbagai gerakan mengerikan di tengah kehidupan beragama dan berbangsa di Indonesia. Demikian kata ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Said Agil Siroj, disela peringatan Lahirnya Nahdlatul Ulama ke 89 tahun 2015.

Bicara NU, sesungguhnya ini merupakan organisasi Islam terbesar dunia dengan jumlah keanggotaan hampir 90 juta jiwa. Dan saat ini, ada banyak kader NU yang duduk di kabinet Jokowi-JK. Namun sejak NU kembali ke khittahnya, peran perjuangan secara langsung tidak lagi bersifat politik praktis. Tapi NU selalu menjadi organisasi yang sangat menarik dalam kancah politik nasional.

Secara organisasi, NU tidak sukses mengantarkan kader strukturalnya ke gelanggang politik nasional. Tapi di sisi lain, kader NU tak pernah luput dalam pusaran politik. Bahkan tak lengkap rasanya satu organisasi bahkan parpol jika tak menarik kader Nahdliyin masuk ke dalam strukturalnya.

Pertanyannya, apakah sesungguhnya yang menarik dari NU?

NU dikenal di Indonesia sebagai ormas konservatif. Namun cepat menyesuaikan dengan setiap perkembangan dunia. NU dikenal tidak a priori dengan perubahan, sebab dapat berkembang dan sehat di zaman orde lama maupun orde baru. Bahkan saat mengawal reformasi, tokoh NU tampil memimpin Indonesia.

NU juga merupakan organisasi Islam terbesar di Indoneisia bahkan dunia, memiliki ormas dan organisasi mahasiswa, serta organisasi kader dengan basis dan doktrin Ahlussunnah wal Jamaah.

Dari kacamata politik, NU jelas menjadi ladang yang luas dan menarik untuk digarap pada setiap pemilu maupun Pilpres. Sebab, dalam kebesaran ormas ini, tokoh NU tak pernah satu gerbong dalam perjuangan politik.

Setelah Gus Dur, terbukti tidak ada lagi tokoh NU yang dapat mempersatukan warganya. Bahkan masing-masing memilih tokoh dan Kiyai untuk dijadikan panutan masing-masing.

Demikian halnya di daerah, NU terbukti belum mampu menjadi lembaga yang berpengaruh. Utamanya dalam mempengaruhi kebijakan di daerah. Perebutan pucuk pimpinan struktural NU di daerah sepenuhnya belum berpengaruh terhadap peran organisasi ini dalam mengarahkan kebijakan di daerah.

Tapi sebaliknya, kita sangat merasakan ghirah ber-NU saat menengok basis dasarnya. Yaitu pesantren. Di lingkar pesantrenlah, NU terbukti mampu menangkal percepatan pengaruh paham radikalisme di Indonesia.

Kita pun ketahui, NU tidak tertarik dengan sikap ekstrimisme seperti mudah mengkafirkan sesama muslim. NU justru lebih akomodatif di daerah. Wajar jika Lembaga Pendidikan Pesantren di bawah naungan NU tak tertarik dengan pertentangan dan perubahan paham yang lebih radikal. Apalagi dengan gegabah mengkafirkan sesama muslim.

Penanaman manhaj aswajah bagi NU jauh lebih urgen. Sembari disertai dengan keterampilan agar warga dan kader yang dididik dapat bersaing di pasar kerja modern saat ini. Dua penguatan di atas merupakan jawaban yang relevan untuk diaktualkan. Karena disadari bahwa hanya dengan kesejahteraan umat Islam, paham radikalisme dapat ditangkal.

Tegasnya, bila kemiskinan dan ketidakadilan tetap terpampang lebar di mata umat Islam, maka jalan pintas dan terorisme akan terus berkembang. Kapanpun, di manapun. (Sdk)



Kritik dan saran

Email: sdk.suhardi@gmail.com