Pa SDK Foto Facebook
Mata publik sontak disentakkan oleh pemberitaan soal sikap Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama yang akrab disapa AHOK. Ia melawan upaya dewan (DPRD DKI Jakarta, red) yang hendak menggunakan hak angket atas dugaan pemalsuan dokumen APBD DKI Jakarta yang dikirim ke Kemendagri. Pasalnya, apa yang menjadi kesepakatan dan hasil rapat paripurna, tertanggal 25 Januari 2015 bahwa anggaran sebesar Rp73 Triliun lebih dinyatakan melenceng.
Dewan memang memiliki hak memberikan saran dan masukan kepada Pemerintah/ Eksekutif sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2010, tentang pedoman penyusunan Peraturan DPRD. Masukan dimaksud berupa pokok-pokok pikiran Dewan terhadap Peraturan Daerah (Perda). Karena memang Dewan harus mampu mempengaruhi kebijakan agar lebih berpihak kepada kepentingan rakyat.
Dalam pembahasan RAPBD, terlebih dahulu harus disepakati Kebijakan Umum Anggaran atau biasa disebut KUA dan PPAS antara eksekutif dan legislatif daerah. Di sinilah harus dibangun kesamaan visi dalam melihat permasalahan daerah serta apa yang menjadi prioritasdaerah dengan estimasi pendapatan daerah tahun itu.
Di era saya dengan Pak Thamrin Endeng (ketua DPRD), kami membuat pertemuan awal di eksekutif untuk dapat secara langsung memberi penjelasan secara langsung dan menyeluruh tentang kebijakan Pemkab tahun tersebut. Baik terhadap target ekonomi makro, maupun masalah daerah yang menonjol sekaligus akan menjadi prioritas daerah. Di tepat yang sama, saya dapat menyerap apa yang menjadi pokok-pokok pikiraran dan cara pandang anggota dewan dalam upaya membangun daerah.
Tapi di era Pak Sugianto, pertemuan seperti ini tak berlanjut. Pembahasan KUA/ PPAS semua berlangsung formal di dewan. Barulah saat kepemimpinan dewan saat ini, melalui Ibu Suraidah, pembahasan APBD 2015 kembali bisa dilakukan dengan menghadirkan Banggar di Dewan bersama Banggar Eksekutif.
Dengan menggunakan pola ini, apa dampaknya? Pertama, adalah komunikasi antar institusi dapat berjalan efektif. Para pihak dapat mendengar dari sumber otentik. Yaitu pimpinan dewan dan eksekutif. Distorsi komunikasi biasanya terjadi karena anak buah melapor, menambah dan mengurangi terhadap informasi yang sesungguhnya penting tersampaikan secara utuh.
Kedua, pertemuan itu dihadiri langsung para pengambil kebijakan. Jadi pada diskusi tersebut langsung dapat disepakati tanpa melalui proses lapor-melapor di masing-masing pucuk pimpinan.
Ketiga, jika pun ada perubahan, maka mengubahnya juga mudah. Karena belum secara final menjadi dokumen resmi yang akan dikirim ke dewan.
Keempat, tak ada calo yang berani melakukan bancakan anggaran karena minimal segan; ada Pak Bupati dan ketua DPRD.
Kelima, upaya ini juga bagian dari upaya menghindari adanya dana siluman yang tidak jelas dimana sumber perencanaanya sehingga tiba-tiba menjadi prioritas dalam APBD.
Terhadap kasus DKI Jakarta, kedua lembaga sama-sama mengawasi dan tidak berjalannya komunikasi antar lembaga yang efektif. Apabila dokumen yang disepakati sebagai hasil paripurna antara eksekutif dan legislatif ada yang mengubah sepihak, jelas itu merupakan pelanggaran serius. Dan bila ini yang menjadi dasar DPRD DKI Jakarta dalam hak angket, dalam pandangan saya, itu juga benar.
Sisi yang lain juga tidak bisa dinafikan. Yakni alasan Ahok melapor ke KPK atas dana yang tidak jelas sumber perencanaannya. Sebab dianggap tak memiliki dokumen perencanaan (musrembang) baik dari sisi bottom up-top Down. Namun perlu diketahui bahwa Dana siluman yang objeknya adalah APBD 2015, maka itu belum korupsi. Karena belum dibelanjakan. Kecuali pada APBD 2014, itu berpotensi korupsi.
Terhadap APBD 2015, dimana Ahok tak setuju, bisa saja tak dibelanjakan dan memasukkan sebagai poin untuk menjadi perubahan APBD tahun berjalan. Karena dianggap bukan prioritas dan tak bermanfaat. Menurut saya, ini solusi paling elegan. Tidak usah saling lapor dan ribut sejagat. Apalagi hanya sekadar kepentingan mengguncang dunia. (sdk)
Kritik dan saran:
Email: sdk.suhardi@gmail.com