Foto : Muhammad Nur OKT Untuk WWS
***
Oleh James E Anderson (2006) menganjurkan 5 langkah kebijakan publik agar berjalan akuntable. Yaitu: (1) identifikasi persoalan dan penyusunan agenda, (2) merancang format kebijakan, (3) mengambil keputusan, (4) eksekusi atau pelaksanaan, dan (5) evaluasi dan revisi kebijakan berdasarkan masukan dari berbagai pihak.Apa yang dilakukan tidak direncanakan dan apa yang direncanakan tidak dilakukan, sungguh ironi kebijakan publik di satu daerah.
Persoalannya, hampir dipastikan tak ada kebijakan publik yang diambil, terlepas dari kontaminasi kepentingan. Salah satunya adalah faktor personal pengambil kebijakan. Personifikasi kebijakan publik adalah kuatnya unsur-unsur personal masuk lalu mengabaikan kepentingan publik. Akibatnya banyak kebijakan publik justeru apublik.
Untuk hal tersebut kembali kepada hal yang di atas. Apakah benar bahwa setiap pejabat dalam mengambil kebijakan publik telah menunaikan kelima tahapan di atas? Apakah tak serampangan dan ujuk-ujuk telah menjadi kebijakan.
Sesungguhnya, mengindentifikasi persoalan dan menyusun agenda sangatlah penting sebelum tiba pada fase pengambilan keputusan. Kita harus paham benar kondisi 'saat ini' existing dan kondisi yang diharapkan 'opurtunity'.
RAPBD misalnya, kita harus mampu menggambarkan kondisi N-1 dan N+1, kemudian menetapkan kebijakan umum anggaran dan target ekonomi makro dalam (N) RAPBD. Inilah yang dibahas bersama legislatif dan disepakati. Sebab DPRD tak memiliki perencanaan disebabkan tidak adanya perangkat untuk itu. Adapun eksekutif, mereka memiliki perangkat Bappeda. Sehingga, posisi DPRD adalah menilai target rasional yang diajukan.
Untuk itu eksekutif harus memiliki alasan dan dasar-dasar ilmiah serta realistis dalam memasang target pertumbuhan. Jika eksekutif tidak dapat memberi jawaban terhadap pertanyaan itu berarti rencana tersebut dibuat tanpa memenuhi unsur-unsur kebijakan yang kuat, jika tak ingin disebut asal jadi.
Merancang format kebijakan tak bisa berdiri sendiri. Alurnya jelas yaitu kebijakan pusat kemudian ke daerah. Untuk kabupaten/ kota juga harus memperhatikan kebijakan umum provinsi sebagai daerah di atasnya, yang nantinya juga berkontribusi atas pembangunan di daerahnya. Sehingga terjadilah ritme kebijakan publik yang terintegrasi secara nasional, tidak saling bertentangan antara satu dengan lainnya.
Rencana yang baik adalah rencana yang mudah dilaksanakan dan memiliki public value yang tinggi. Bukan justeru sebaliknya sulit dilksanakan. Akibatnya apa yang terencana tidak terlaksana dan apa yang terlaksana tidak terencana.
Banyak pejabat publik yang cepat dalam pengambilan keputusan, tidak berlama-lama dan bahkan dalam memimpin rapat sangat to the point,. Bahkan langsung pada pengambilan keputusan. Itu tidak masalah. Asalkan keseharian pejabat tersebut berada pada kondisi identifikasi dan tahu benar teritorial serta medan masalah. Termasuk Informasi yang dipasok kepadanya adalah informasi dengan bobot tinggi. Bukan lagi berpijak pada informasi yang berlandaskan Asal Bapak Senang (ABS).
Saat ini, saya mengamati satu daerah terkait pola pengambilan keputusannya. Tampaknya, selalu ada kerancuan sistemik serta saling bertolak belakang antara satu SKPD dengan SKPD yang lain. Lebih miris sebab kepentingan personal menjiwai atau lebih tegasnya mendominasi rencana yang ada. Akibatnya semua masukan maupun usulan diabaikan begitu saja. Adapun forum-forum tahapan perencanaan pada akhirnya hanya menjadi 'teks mati' tanpa makna, tanpa fakta. Itu berarti bahwa kebijakan yang dicetuskan telah nyata adanya; merugikan hak-hak publik.
Memang diakui, rencana yang baik tidaklah selalu menjamin pelaksanaan yang baik dan berdampak maslahat bagi publik. Tapi bila rencana yang baik itu ditunaikan setertib mungkin, minimal satu fase dari satu pekerjaan telah memenuhi standar untuk suatu harapan.
Sebaliknya, bila perencanaan buruk maka sama halnya kita merencanakan suatu kegagalan. Akibatnya bukan hanya kita yang merasakan kerugian itu, tapi publiklah yang tidak menerima hak-haknya. Karena itu kiranya perlu untuk menegaskan kembali kesadaran kolektif kita bahwa tidaklah elok jika pejabat publik masih menyandang predikat bodoh. Jangan sampai itu terjadi....(Sdk)
Kritik dan saran:
sdk.suhardi@gmail.com
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar