OLEH : Dr. H. SUHARDI DUKA, MM
Banyak pihak yang bicara tentang konsep perubahan, ataupun reformasi
birokrasi. Tapi tak banyak yang sungguh-sungguh melakukannya. Bahkan
tidak memahami cara untuk menerapkannya.
Semakin buruk mata rantai tata kelola pemerintahan, semakin terbuka pula
peluang melakukan penyimpangan, kongkalikong, pungli, dan korupsi.
Imbasnya, keterlambatan layanan publik menjadi bagian dari serial
kolosal perjalanan birokrasi di Indonesia.
Idealnya, seorang pemimpin adalah sekaligus sosok yang memimpin
perubahan. Karena kunci dari semua perbaikan tata kelola dan reformasi
birokrasi ada pada kepiawaian sang pemimpin.
Telah banyak kisah perubahan dan kemajuan mengungkap dari usaha luar
biasa yang dilakukan oleh sosok pemimpin. Mereka bergerak di mana saja,
baik di pusat kekuasaan, lembaga swasta, maupun di Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM). Ini merupakan dalil sahih bahwa kemajuan yang terjadi
di masyarakat tidak terlepas dari campur tangan sang pemimpin. Perbaikan
birokrasi di daerah banyak dihasilkan oleh pemimpin daerah saat ini.
Lee Kwan Yeu, adalah bukti konkrit betapa kuatnya pola kepemimpinan yang
diterapkan saat menjabat sebagai perdana menteri di Singapura. Beliau
memiliki 3 cara berpikir efektif. Yaitu "Think Ahead" mampu berpikir ke
depan dan antisipatif; "think again" pemimpin yang mampu mengkaji ulang
hasil pemikirannya; dan think across”, kemampuan berpikir secara
lateral, horisontal serta lintas disiplin.
Ketiga cara berpikir di atas mestilah dimiliki oleh seorang pemimpin
yang akan membawa perubahan. Tidak justru sebaliknya, bekerja secara
reguler dan normal alias apa adanya.
Seorang pemimpin sepatutnya mampu melipatgandakan cara kerjanya agar
mendapatkan hasil yang berlipat ganda pula. Dan Lee Kwan Yeu tahu
kondisi Singapura. Ia paham betul bahwa persaingan kawasan Asean ke
depan tak sekadar untuk posisi tawar Singapura yang harus diantisipasi
sebagai satu negara kecil. Tapi juga untuk bertindak sebagai pengendali
ekonomi di Asean.
Demikian halnya atas keputusan bergabung ke salah satu negara bagian di
Malaysia, yang pada akhirnya berpikir kembali untuk melepaskan diri dari
Malaysia. Semua itu telah diperaktekkan oleh perdana menteri Lee Kwan
Yeu.
Beliau juga sangat tahu akan kepentingan negara-negara tetangga serta
kondisi dalam negara yang Multi Etnik, serta Lintas Agama. Atas
kematiannya bukan hanya rakyat dan etnis Mandarin yang menangisi. Tapi
juga Melayu dan etnis India Arab ikut bersedih atas kepergiannya.
Kita bisa mencontoh beliau akan kegigihannya. Bahwa pemimpin di daerah
harus bertanggung jawab atas nasib generasi mendatang. Agar mampu
menghadirkan kondisi masa depan yang lebih gemilang. Tentu, takkan
terasa jika hasil yang dicapai dengan ukuran evolusi. Seperti halnya
tumbuhnya sebuah batang kayu di halaman rumah, sulit terlihat perubahan
itu berlangsung setiap hari.
Roda kepemimpinan harus sanggup membuktikan bahwa nasib masyarakat
tertinggal harus dipercepat persamaan situasinya dengan masyarakat yang
telah awal mengalami kemajuan peradaban.
Perhatikanlah potret Mamuju 10 tahun silam. Jelas sekali bahwa Mamuju
merupakan satu daerah yang tertinggal di Sulsel. Hanya Selayar yang
setara kala itu.
Tapi bagaimana dengan saat ini? Saya tak sedang jumawa. Tapi indikator
dan ukurannya jauh telah meninggalkan potret 10 tahun silam itu. Bahkan
Mamuju kini telah dinobatkan sebagai daerah yang tak tertinggal lagi.
Dengan demikian, cetak biru atas fakta empirik ini adalah bahwa cara
berpikir ke depan dan antisipatif itu tercermin pada kemampuan mengkaji
suatu situasi yang akan dihadapi. Serta kemampuan untuk dapat masuk dan
mengendalikan kebijakan itu.
Tidak terlalu sulit mengubahnya, walau kondisinya serba terbatas. Tapi
kesungguhan dan tingkat pemahaman akan masalah yang dihadapi serta
konsistensi untuk tak pernah berhenti belajar, mesti menjadi
keniscayaan. Walhasil, kita pun dapat melakukan perubahan itu. (SDK)
Kritik dan saran:
sdk.suhardi@gmail.com
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar