Tahun 1998 silam, rezim orde baru jatuh setelah berkuasa
selama kurang lebih 33 tahun. Di tangan Pak Harto, sistem kekuasaan terpusat.
Termasuk hukum, militer dan ekonomi, seluruhnya dikendalikan olehg mekanisme
sentalistik yang dibangunnya.
Jika ditilik alasan yang mendasari keruntuhan orde baru,
tentu karena praktek korupsi dan nepotisme telah merajai hampir seluruh level
pemerintahanj kala itu. Sehingga menimbulkan kesenjangan dan ketimpangan
pendapatan dalam masyarakat. Serta tidak terpenuhinya hak-hak rakyat akibat
tidak adanya demokrasi dan kebebasan serta kepastian hukum.
Dilihat dari tahapannya, keruntuhan orde baru bermula dari
krisis ekonomi, kemudian berlanjut ke krisis moneter. Neraca perdagangan
Indonesia waktu itu mulai mengalami defisit akibat utang luar negeri yang sulit
dibayar. Juga karena cadangan devisa habis. Dampaknya, kondisi ini melemahkan
nilai tukar rupiah dan inflasi yang tinggi.
Bak gayung bersambut, Krisis politik turut mengamini
persoalan ekonomi secara beruntun. Hal ini ditandai dengan berbaliknya arah
dukungan partai pendukung Pemerintah yang mayoritas di parlemen saat itu.
Posisi tawar Politik Pak Harto kian melemah, dialog politik menjadi buntu dan
tidak memiliki jalan keluar. Hingga pada puncaknya, parlemen meminta Pak Harto
mundur.
Di samping itu, tahun 1998 juga menjadi tahun yang amat
terasa bahwa politik telah menjadi panglima di atas kepastian hukum. Rakyat
tidak taat lagi dengan hukum dan bahkan bertindak sendiri dengan melakukan
Penjarahan di kota-kota besar.
Kondisi tersebut terus menguatkan publik untuk tak lagi
menaruh kepercayaan kepada pemerintah. Publik tak lagi mempercayai pemerintah,
dan tokoh formal gerakan massa tak lagi terkendali. Maka terjadilah gerakan
sosial yang semakin hari semakin memuncak. Inilah yang disebut sebagai people
power. Bahwa Kekuatan rakyat secara mayoritas telah bergerak untuk menurunkan
Pemerintah. Dengan melihat itu semua, Pak Harto sebagai seorang negarawan
akhirnya memilih mundur demi untuk Indonesia dan masa depannya.
Selanjutnya, pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga tak kalah peliknya. Mantan Ketua PBNU ini
mundur setelah dimundurkan oleh DPR. Mengapa? Karena Gus Dur melakukan dua tindakan
yang tak lazim; Menyebut DPR ibarat taman Kanak-Kanak, dan membubarkan DPR
melalui dekrit yang diterbitkannya.
Pertanyaannya, ada apa dengan kalender 1998? Sesungguhnya
ini tidak prinsip, kendati kita pun harus tetap percaya bahwa tidak ada yang kebetulan
di dunia ini. Semua itu ada yang mengaturnya. Jika secara cermat diperhatikan,
Kalender 1998 persis sama dengan
kalender 2015. Baik hari dan penanggalannya tidak ada yang berbeda.
Anggaplah kita sedang menggunakan asumsi numerologi.
Ini artinya perlu kehati-hatian. Persoalan KPK VS POLRI
sebaiknya jangan dilihat sebagai sesuatu yang sederhana. Dua institusi ini
adalah pilar negara yang sangat dibutuhkan. Saya tak bisa membayangkan kalau
polisi mogok sehari saja? Sedangkan polisi kerja 24 jam masih macet dimana
mana, pencurian dan penganiayaan masih jalan. Termasuk bank masih ada yang
dirampok serta teroris yang terus menjalarkan kanal pergerakannya.
Demikian pun KPK, galak seperti saat ini pun masih banyak
orang korupsi. Apalagi jika sampai KPK bubar. Saya tidak bisa membayangkan
bagaiamana massa gerakan anti korupsi akan bergerak termasuk mahasiswa.
Di sinilah diuji kematangan seorang pemimpin. Hampir semua
kalangan dan tokoh bahkan bekas kompetitor pun telah datang menemuinya. Di
sinilah sesungguhnya dilihat mana yang asli kawan atau hanya kepentingan.
Pandangan saya, kepada Bapak Presiden Jokowi, dalam
menyelesaikan permasalahan ini, sebaiknya merunut mulai dari awal dan titik
beratnya adalah pada kepentingan Rakyat, bukan elite dan parpol. Apa kata BJ
Habibie? Hukum itu harus objektif tapi subjektif terhadap kepentingan rakyat.
Pernyataan ini sangat berbeda dengan kata mantan-mantan pengacara itu yang
sering muncul di TV saat ini.
Pemerintah saat ini
harus segera kembali pada tugas pokoknya yaitu pembangunan ekonomi dan revolusi
mental. Angka pertumbuhan ekonomi yang dipatok 2015 adalah angka yang tak
memberi harapan besar; 5,7 persen. Angka ini hanya cukup menutup angka Inflasi yang dipatok, 5 persen.
Kalau kinerja ekonomi baik akibat beban subsidi tak ada
lagi, dan momentum rendahnya harga minyak dunia, maka sesungguhnya Indonesia
bisa tumbuh di atas 6 persen. Beban Impor BBM dapat dimanfaatkan untuk
mendorong ekspor dengan memberikan kebijakan agar daya saing bahan ekspor kita meningkat,
target swasembada beras dalam 3 tahun bisa dicapai, Dolog kembali diberdayakan
dan pembangunan infrastruktur dipercepat.
Dari empat tahapan jatuhnya orde baru di atas, sampai saat
ini kondisi Indonesia belum ada di tahapan itu. Karenanya kita berdoa, semoga
semua selamat dan berakhir damai. SAVE POLRI SAVE KPK. (SDK)
Kritik dan saran:
sdk.suhardi@gmail.com
----------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar