Social Icons

Senin, 06 April 2015

DEMOKRASI KAUM PINGGIRAN

OLEH : Dr.H. SUHARDI DUKA, MM,

Foto Facebook

Suatu ketika, Saya pernah bertanya kepada salah seorang warga yang tinggal di desa tentang demokrasi.
Apa komentar mereka? Katanya Demokrasi itu Pemilihan umum; Demokrasi itu bebas berbicara; Demokrasi itu seperti pemilihan Kepala Desa; Demokrasi Juga dapat diartikan musyawarah untuk mufakat.


Jadi pemahaman tentang demokrasi rupanya sangat variatif. Tergantung pada cara pandang dan letak geografisnya.

Dalam pemahaman masyarakat tentang demokrasi, rupanya tak terpengaruh dengan terminologi ilmiah yang terbangun di kalangan kampus selama ini. Mereka lebih cenderung memaknainya dengan pandangan empirikal; yang dilihat setiap saat.


Banyak orang berpandangan bahwa demokrasi itu mahal. Bahkan dengan sistem demokrasi, untuk menjadi Kepala Desa saja saat ini mahal. Apalagi untuk menjadi kepala daerah.


Selebihnya, masyarakat merasa tidak memiliki tanggung jawab terhadap pilihannya. Artinya, siapa pun yang dipilih tidak menjadi tanggung jawabnya terhadap apa yang dihasilkan. Karena begitu banyak orang menjanjikan sesuatu, tapi tidak pernah ditepati setelah terpilih.


Akibatnya, masyarakat tidak selektif menentukan suatu pilihan. Sehingga, ukurannya menjadi berbeda; bukan lagi target jangka panjang yang dipentingkan. Melainkan sisi jangka pendek dan pragmatis. Siapa yang memberinya uang, dialah yang menjadi pilihan. Secara linear, kondisi ini diperparah dengan tingkat ekonomi masyarakat kita yang masih rendah dan tertinggal.

Situasi ini seharusnya tidak boleh dibiarkan berlangsung terus-menerus. Kita harus melakukan langkah perbaikan lebih terukur dan terarah. Saat era orde baru, demokrasi di desa dengan pemilihan langsung berjalan cukup sehat. Tidak ada sistem bayar-membayar. Tapi justru menghasilkan suara terbanyak. Namun setelah diterapkan model Pemilu dan Pilkada, uang menjadi salah satu instrumen penting demokrasi. Sehingga tak lagi murni seperti di desa saat orba.


Lalu, bagaimana pula dengan survey? Apakah dengan survey kita dapat memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia? Atau justru menjadikan dorongan untuk lebih memaksakan diri mendapatkan tingkat keterpilihan?


Dengan elektabilitas yang rendah acapkali mendorong seseorang untuk melakukan apa saja agar bisa menang dalam pemilu. Jadi, survey juga turut berkontribusi mendorong demokrasi untuk tidak menjadi lebih baik. Sebab survey tidak dimaknai dengan cara yang benar. Justru digunakan dengan cara yang salah.


Survey sesungguhnya digunakan untuk menganalisis. Dan ukuran diri untuk menakar elektabilitas tidak digunakan untuk memaksakan diri dengan menggunakan segala cara dalam pemilu.

Dengan demikian, untuk memperbaiki kehidupan politik dan demokrasi, kita harus melakukan langkah perbaikan melalui pendidikan politik rakyat, memperbaiki cara berdemokrasi di desa agar masyarakat ikut bertanggung jawab atas penggunaan haknya dalam memilih kepala desa.


Saat ini Pemilihan Desa serentak akan segera berjalan di beberapa kabupaten. Semarak pilkades dapat dirasakan dengan naiknya tensi politik di desa. Kita berharap agar Calon kepala desa dapat terseleksi dengan baik, dan memiliki orientasi untuk membangun desanya. Bukan hanya karena dorongan dana desa yang Rp.1 miliar itu.


Demikian juga masyarakat desa dalam menggunakan hak pilihnya harus paham betapa berartinya suara yang diberikan kepada seseorang yang akan memimpin desa selama 6 tahun. Bila salah memilih maka akan merasakan dampaknya selama 6 tahun pula.


Pengalaman pemilu yang lalu harus menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia. Akan kemana Indonesia saat ini dan 4 tahun ke depan? Kita akan merasakan semua sebagai hasil pilihan kita. (SDK)

Kritik dan saran:
Email: sdk.suhardi@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar